Total Tayangan Halaman

Senin, 07 Februari 2011

DISAIN PEMBELAJARAN KEWIRAUSAHAAN DI PERGURUAN TINGGI

by :Eman Suherman
(Dipublikasi pada : INTERNATIONAL SEMINAR & CONFERENCE Faculty of Economics Universitas  Negeri  Jakarta, November  5, 2010).
 
Abstraksi

Mata kuliah Kewirausahaan atau Entrepreneurship di Perguruan Tinggi (PT) kini mempunyai nuansa ilmiah tersendiri, sehingga banyak PT yang menyajikan mata kuliah ini. Namun perkuliahan tersebut jarang didasari oleh disain pembelajarannya. Dengan demikian sering berjalan secara sporadis.
Kondisi obyektif sebagaimana disebutkan tadi memberikan indikasi adanya keharusan untuk merumuskan disain pembelajaran kewirausahaan di PT, agar proses perkuliahan dapat berjalan dengan baik, terencana dan sistemik.
Dengan adanya Disain Pembelajaran kewirausahaan di PT akan sangat memungkinkan perkuliahan dapat mencapai tujuannya.

Pendahuluan

Menjelang abad 21, nampaknya bangsa Indonesia mulai membuat gebrakan hebat dalam hal kewirausahaan. Kondisi perekonomian yang cukup memprihatinkan ternyata dapat menjadi salah satu pendorong berkembangnya jiwa wirausaha di beberapa kalangan. Pada tahun 1995 terbitlah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan (GNMMK). Tindak lanjut gerakan ini cukup bergema. Seminar, lokakarya, simposium, diskusi, sampai pelatihan kewirausahaan gaungnya begitu kuat. Singkatnya, waktu itu kewirausahaan atau entrepreneurship menjadi kata kunci kegiatan yang booming. Meskipun kadang-kadang masih terkesan sporadis, kegiatan ini sedikit demi sedikit mulai terarah dan kian hari makin menampakkan aspek pragmatisnya.

Dengan semakin memasyarakatnya entrepreneurship, dunia pendidikan seolah dapat memperluas lahan garapannya. Lembaga pendidikan formal, perguruan tinggi misalnya, mulai memberi muatan lokal mata kuliah ini. Dan di awal abad 21, pembelajaran kewirausahaan sudah merambah ke satuan persekolahan walaupun belum begitu membumi. Demikian juga di lembaga pendidikan nonformal seperti kursus, entrepreneurship diterima sebagai mata pelajaran yang memiliki nilai lebih. Bahkan di lingkungan pendidikan nonformal tidak kurang dari Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Depdiknas RI pada  tahun 2006 meluncurkan program KWD-Kursus Wirausaha Desa yang penyelenggaraannya diserahkan kepada lembaga-lembaga kursus yang ada di lingkup daerah tingkat II Kabupaten, dan program KWK-Kursus Wirausaha Kota, yang penyelenggaraannya diserahkan kepada lembaga-lembaga kursus yang ada di wilayah perkotaan. Hal ini memberikan indikasi bahwa lembaga kursus dianggap ‘mumpuni’ dalam melaksanakan pembelajaran kewirausahaan. Sayangnya kegiatan ideal tersebut sering mendapat feedback yang ‘belum pas’ baik secara makro maupun dalam lingkup mikro. Umpan balik yang kurang diharapkan dari lingkungan makro diantaranya; masih banyak anggapan bahwa belajar kewirausahaan akan menghasilkan ‘tukang dagang’ atau pengusaha yang berskala UKM, sehingga masyarakat lebih menghargai ‘pegawai’ ketimbang entrepreneurs. Penyebab timbulnya asumsi dari masyarakat seperti itu ternyata diantaranya berasal dari lingkup mikro atau kalangan intern lembaga terhadap mata pelajaran kewirausahaan. Masih banyak personal lembaga pendidikan yang menganggap mata pelajaran kewirausahaan sebagai pelengkap, sehingga proses pembelajarannya dilaksanakan tidak dengan sungguh-sungguh sebagaimana memberikan pelajaran keterampilan lainnya. Setelah dikaji lebih dalam, ternyata akar masalahnya ialah belum adanya  ‘ketentuan’  yang  dapat  dipedomani dalam . . . . .

Artikel lengkap dikompilasi oleh/hubungi :
Kanaidi, SE., M.Si (Penulis, Peneliti, PeBisnis, Trainer dan Dosen Marketing Management).

Butuh Artikel/Jurnal lainnya ?, click di :
Enterpreneurship...Enterprener...Enterprenur....
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar